Invasi Russia pada Ukraina telah menyebabkan banyak masalah, salah satunya adalah pengungsi. Invasi tersebut telah mendapat perhatian dunia, yang mana membuat seluruh negara tahu bahwa ada pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh warga-warga dari negeri bekas pecahan Soviet tersebut. Konflik tersebut membuat warga Ukraina hidup dalam bahaya dan ketakutan sehingga meninggalkan negaranya ke negara yang lain seperti Jerman dan Polandia untuk mencari Suaka yang dapat memberi perlindungan kepada mereka. Akan tetapi, melarikan diri ke negara lain pasca perang juga bukan pilihan yang baik mengingat maraknya kasus perdagangan manusia, apalagi pengungsi dari Ukraina 65.8% adalah perempuan.
Berdasarkan pengertian dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Pengungsi merupakan sebutan untuk orang yang terpaksa meninggalkan negaranya karena adanya penganiayaan, perang, atau kekerasan. Seorang pengungsi mengalami ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, pendapat politik, atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Mereka mungkin tidak dapat pulang atau takut melakukannya. Dalam hal ini, pengungsi Ukraina dapat dikategorikan kedalam Pengungsi Perang.
Perdagangan Manusia yang terjadi pada pengungsi bukan lagi hal yang “mengejutkan” mengingat banyaknya kasus-kasus yang telah terjadi. Dan perdagangan manusia ialah salah satu industri terbesar yang terjadi dalam Transnational organized crime (TOC). TOC ialah kejahatan yang terjadi di lintas negara, dimana pelaku memanfaatkan celah dalam sistem hukum untuk melaksanakan aktivitas kriminal yang melanggar lebih dari satu hukum. Disisi lain Ukraina juga termasuk dalam salah satu negara sebagai pemasok banyak perempuan untuk bekerja dalam bidang prostitusi paksa.
Untuk mencegah perdagangan seksual, menghukum pelaku, dan melindungi korban perdagangan, termasuk perlindungan terhadap hak asasi yang diakui secara internasional, diperlukan pendekatan internasional secara menyeluruh di negara asal, negara transit, dan negara tujuan.
Adapun regulasi yang mengatur tentang pencegahan pengungsi (khususnya perempuan dan anak-anak) dari perdagangan seksual, yang bernama Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (PALERMO). Protokol tersebut merupakan protokol lanjutan PBB, protokol palermo mulai di tanda tangani oleh negara-negara anggota dari tanggal 12-15 Desember 2000 di Palermo, Italy.
Tetapi protokol palermo dinilai kurang efektif dalam memberi perlindungan terhadap pengungsi dan tidak terlalu memberatkan hukuman pelaku, dikarenakan 2 faktor :
Pertama, adanya perbedaan dalam pendefinisian “Perdagangan Manusia” antara Palermo Protokol dan negara-negara ratifikasi, perbedaan dalam area dalam berlangsungnya tindakan pelanggaran hukum, dan masalah pelaporan palsu yang membuat data tidak akurat.
Kedua, Palermo tidak mengatur langsung tentang penghukuman terhadap pelaku seperti namanya “to prevent, suppress punish trafficking in person” yang menyebabkan sanksi terhadap pelaku bersifat relative, menurut tempat berlangsung.
Definisi dari Perdagangan Manusia dicantumkan dalam Pasal 3 Palermo Protokol yang berbunyi,
“Trafficking in persons” shall mean the recruitment, transportation, transfer, harboring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labor or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”
Negara yang telah meratifikasi akan terikat dengan perjanjian itu berkewajiban melaksanakannya dengan membuat undang-undang, peraturan-peraturan pelaksanaan dan instrumen nasional. Dengan ratifikasi, maka negara itu menjadi negara pihak (party) dari perjanjian yang di ratifikasi tersebut. Artinya, akan ada kelemahan dalam regulasi tersebut apabila negara tidak mendefinisikan secara teliti kejahatan apa yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia.
Polandia menjadi salah satu negara yang dituju oleh pengungsi Ukraina setelah Jerman, dimana di Polandia prostitusi dianggap legal sehingga membuat status korban sebagai orang yang di perdagangkan dapat “disamarkan” sebagai pekerja seksual secara sukarela dan bukan karna adanya pemaksaan.
Mengingat sebagian besar kejahatan TOC ialah kejahatan yang bergerak dalam organisasi industri gelap, seperti perdagangan narkoba, perdagangan senjata serta perdagangan manusia. Artinya, data terhadap aktivitas criminal tersebut khusunya korban perdagangan manusia tidak 100% benar. Sebagian data disembunyikan, diseludupkan dan tidak jelas benarnya.
Penerapan saksi terhadap pelaku diatur didalam pasal 5 Protokol Palermo :
“Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences the conduct set forth in article 3 of this Protocol, when committed intentionally.”
Ini berarti bahwa setiap negara yang ikut serta harus menetapkan peraturan dan perangkat lain yang dapat dianggap sebagai suatu tindakan kriminal. Setiap tindakan yang dapat dikategorikan dalam definisi perdagangan yang diatur dalam pasal 3 dianggap sebagai tindakan kriminal.
Apabila negara tujuan tidak meratifikasi protocol tersebut, maka dapat diberlakukan asas lex locus delicti. Dimana pelaku perdagangan manusia dapat dihukum di wilayah terjadinya pelanggaran hukum. Akan tetapi tidak semua negara menerapkan regulasi yang sama, asalkan isinya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Protokol Palermo.
Terhadap permasalahan ini saya menyarankan :
Pertama, ketidakefektifan Protokol Palermo dapat dihilangkan dengan kerja sama komunitas internasional dalam mendefinisikan Perdagangan Manusia dan negara-negara yang meratifikasi harus mengikuti kebijakan Palermo, dan PBB harus memberikan pengamanan yang ketat terhadap masalah pelaporan, dan juga memberikan sanksi kepada negara yang memberikan data palsu.
Kedua, PBB, selaku pusat Organisasi Internasional yang berperan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia harus membuat regulasi baru dalam sisi pidana, yang bersifat memaksa agar setiap negara harus mematuhi aturan tersebut, sehingga tidak ada pihak korban yang merasa dirugikan apabila negara tujuan memiliki hukum yang lemah terhadap penghukuman pelaku perdagangan manusia. Setiap tindakan yang dapat dikategorikan dalam definisi perdagangan yang diatur dalam pasal 3 dianggap sebagai tindakan kriminal. Sehingga asas lex lotus delicti pun tidak akan merugikan korban dari perdagangan seksual tersebut.
Dengan demikian, untuk mencegah terjadinya perdagangan seksual dalam pengungsi diperlukan regulasi hukum yang lebih kuat dalam menghukum pelaku, baik itu hukum nasional negara ratifikasi itu tersebut atau regulasi yang dibuat oleh PBB sendiri.
Penulis: Auria Rachmani, S.H.
Write a comment: