
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dimulai dengan pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo pada 26 Agustus 2019, yang menandai inisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta. Penetapan lokasi IKN di kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dilakukan setelah kajian mendalam mengenai risiko bencana alam dan potensi pengembangan wilayah tersebut. Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan IKN, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara pada 15 September 2021 sebagai landasan hukum untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun pada tahun 2023 peraturan ini mengalami perubahan signifikan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023.
Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur adalah salah satu proyek ambisius terbesar dalam sejarah Indonesia. Pemerintah mempromosikan IKN sebagai solusi atas permasalahan di Jakarta, termasuk overpopulasi, kemacetan, dan kerentanan terhadap bencana alam. Namun di balik antusiasme yang menyertai proyek pemindahan ibu kota ini, muncul pertanyaan yang mendalam: Apakah IKN benar-benar dapat memenuhi janji sebagai kota masa depan yang inovatif dan berkelanjutan, atau justru berisiko menjadi beban yang tidak perlu, dengan dampak negatif terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia? Pertanyaan ini mencerminkan ketidakpastian yang ada mengenai keberlanjutan dan dampak jangka panjang dari pemindahan ibu kota, yang tidak hanya memerlukan perencanaan yang matang, tetapi juga responsif terhadap tantangan kontemporer yang dihadapi oleh negara.
Tidak sedikit pihak yang meragukan urgensi dan kelayakan proyek ini, terutama dalam konteks kondisi ekonomi nasional saat ini. Anggaran pembangunan IKN diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, yang sebagian besar bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam situasi di mana pemerintah masih berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi, banyak yang mempertanyakan apakah dana ini lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71,8 triliun (setara dengan 4,6 miliar dolar AS) untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dalam periode 2022 hingga
2024. Dana ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rincian penggunaan anggaran menunjukkan bahwa pada tahun 2022, realisasi mencapai Rp 5,5 triliun atau sekitar 349 juta dolar AS, sementara pada tahun 2023, anggaran yang terserap meningkat menjadi Rp 27 triliun atau setara dengan 1,7 miliar dolar AS.Untuk dua bulan pertama tahun 2024, hingga 29 Februari, realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 2,3 triliun atau 146 juta dolar AS. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa untuk tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 39,3 triliun (sekitar 2,5 miliar dolar AS).
Alokasi dana APBN ini memunculkan tantangan, terutama bagi sektor-sektor strategis lainnya yang membutuhkan dukungan APBN, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan daerah tertinggal. Pengalihan sebagian besar anggaran ke proyek IKN dapat menyebabkan keterbatasan pada sektor-sektor ini yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas pelayanan publik dan memperlambat peningkatan kualitas hidup di wilayah lain. Bagi beberapa daerah terutama yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah kebutuhan akan anggaran ini sama mendesaknya. Jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan adalah kebutuhan dasar yang jika tidak segera dipenuhi akan memperpanjang ketimpangan antarwilayah di Indonesia.
Selain itu, penerapan UU No. 21/2023 yang memungkinkan Otorita IKN (OIKN) untuk menarik utang luar negeri dengan jaminan pemerintah tanpa pengawasan penuh dari DPR juga menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Pertama, ini membuka celah bagi ketidaktertiban fiskal karena utang yang tidak transparan berisiko membengkak tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Kedua, ketentuan ini dapat meningkatkan beban fiskal negara jika proyek gagal memenuhi target ekonomi, sehingga pembayaran utang harus dialokasikan dari APBN yang seharusnya digunakan untuk sektor prioritas. Ketiga, ketergantungan pada investor asing dan utang luar negeri dapat memunculkan risiko geopolitik dan melemahkan kedaulatan nasional di wilayah IKN.
Terlepas dari permasalahan anggaran, pembangunan IKN juga menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan. Wilayah yang akan dikembangkan adalah kawasan hutan yang kaya biodiversitas. Meskipun ada klaim bahwa pembangunan akan memperhatikan prinsipprinsip keberlanjutan, skeptisisme tetap ada, mengingat sejarah eksploitasi sumber daya alam yang sering kali mengabaikan aspek lingkungan.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang direncanakan sebagai smart city dengan mengintegrasikan teknologi digital dan keberlanjutan memang menyuguhkan harapan besar akan kota masa depan yang efisien dan ramah lingkungan. Namun, dalam implementasinya, proyek ini menghadirkan kontradiksi yang serius, terutama dalam hal dampak lingkungan. Pembangunan IKN di Kalimantan Timur, yang bertujuan menciptakan kota yang lebih modern dan berkelanjutan, malah berisiko merusak lingkungan yang kaya biodiversitas. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di kawasan tersebut mencatatkan angka yang mengkhawatirkan. Sejak 2018 hingga 2024, lebih dari 22.861 hektare hutan telah digunduli, dengan peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Pada periode 2019-2020 saja, hutan yang hilang mencapai 6.102 hektare, dan angka ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini berbanding terbalik dengan janji pemerintah untuk menjaga prinsip keberlanjutan dalam pembangunan IKN.
Selain itu, dampak sosial dan lingkungan semakin terasa. Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore Christanto, menyatakan bahwa proyek IKN telah menyebabkan konflik sosial, pelanggaran hak asasi manusia, dan perampasan sumber daya alam yang penting bagi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah ancaman kerusakan keanekaragaman hayati, terutama di Teluk Balikpapan, di mana sekitar 16.000 hektare kawasan mangrove terancam akibat eksploitasi yang terjadi seiring dengan pembangunan IKN. Keberadaan mangrove ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi daerah pesisir dari dampak perubahan iklim.
Dengan demikian, meskipun IKN dijanjikan sebagai kota masa depan yang mengutamakan keberlanjutan, kenyataannya malah menunjukkan ancaman serius terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Proyek ini seharusnya dipertimbangkan kembali agar tidak hanya menjadi “proyek mercusuar” yang membanggakan, tetapi juga benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat Indonesia tanpa merusak ekosistem yang ada. Proyek Ibu Kota Negara (IKN) memerlukan transparansi, pengawasan yang ketat, dan partisipasi aktif masyarakat sebagai elemen kunci dalam perencanaannya guna merealisasikan visi sebagai kota masa depan. Keberhasilan proyek ini tidak hanya bertumpu pada kebijakan yang inklusif, tetapi juga pada upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, pemerintah harus mampu menjawab skeptisisme publik melalui pencapaian hasil konkret yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga kepercayaan terhadap proyek ini dapat terbangun secara substansial.
Masa depan IKN dapat menjadi simbol kemajuan nasional atau malah berpotensi menjadi beban baru, tergantung pada bagaimana proyek ini dikelola. Rencana ambisius di atas kertas harus diiringi dengan komitmen nyata dari pemerintah untuk mewujudkan kota yang benarbenar inklusif, berkelanjutan, dan memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam perspektif jangka panjang, keberhasilan proyek ini akan diuji oleh waktu—apakah IKN dapat menjadi tonggak sejarah yang visioner atau sekadar langkah tergesa-gesa tanpa persiapan yang memadai.
Penulis : Cut Fitri Mulyana
Write a comment: