Dilantiknya Presiden ke-8 Indonesia Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga membawa perombakan dari sebelumnya Kabinet Indonesia Maju menjadi Kabinet Merah Putih. Nama kabinet ini adalah perwujudan warna bendera Indonesia guna membangkitkan rasa patriotisme. Tidak hanya penambahan dari jumlah Menteri pada kabinet merah putih yang terlihat berbeda dari kabinet sebelumnya, namun naiknya artis-artis ternama di Indonesia pada susunan kabinet seperti Raffi Farid Ahmad yang menjadi Utusan Khusus Presiden juga menjadi sorotan publik dan dipertanyakan tentang efektivitas dari peran yang diambil. Dalam opini ini saya akan mengupas lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Utusan Khusus Presiden pada Kabinet merah Putih 2024-2029.

Pada Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024 diatur mengenai “Penasihat Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wakil Presiden”. Perpres inilah yang menjadi dasar hukum dan acuan pada tupoksi yang akan dijalankan kedepannya. Ketika saya mengulik lebih dalam, ada keanehan yang mana Perpres Nomor 137 Tahun 2024 ini ditanda tangani oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada tanggal 18 Oktober 2024, yakni tepat 2 hari sebelum pelantikan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto pada tanggal 20 Oktober 2024. Saya mencoba untuk mencari tahu dan memahami apakah efektif dengan adanya Utusan Khusus Presiden pada susunan kabinet merah putih 2024-2029? Dan apakah bisa produk hukum dari Presiden periode sebelumnya digunakan dan dijalankan pada Kabinet terbaru dengan pimpinan yang berbeda?.

Pada pasal 18 Perpres Nomor 137 Tahun 2024 dijelaskan bahwa tugas dari Utusan Khusus Presiden yaitu melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh Presiden diluar tugastugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintahan lainnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, utusan khusus Presiden bertanggung jawab kepada Presiden dan laporan pelaksanaa tugas dikoordinasikan oleh Sekretaris Kabinet. Tugas-tugas yang dilakukan oleh Utusan Khusus Presiden diluar dari tugas Kementerian dan Instansi pemerintahan lainnya. Utusan Khusus Presiden dapat berasal dari Pegawai negeri Sipil (PNS) maupun non-PNS.

Kabinet Merah Putih harus mampu menyelaraskan tujuannya dengan aspirasi rakyat yang kemudian akan meningkatkan tata kelola pemerintahan dan kepercayaan masyarakat. Apakah Utusan Khusus Presiden akan efektif mengingat sudah terdapat 48 Menteri yang dilantik sesuai bidangnya masing-masing. Pada bagian menimbang Undang-Undang Nomor 137 Tahun 2024 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang telah dipilih oleh rakyat dapat segera menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi sangat tinggi dan besar. Secara keseluruhan Utusan Khusus Presiden dapat menjadi alat yang efektif dalam penanganan isu-isu tertentu, jika dikelola dengan baik dan memiliki dukungan yang memadai.

Faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas Utusan Khusus Presiden

Faktor pertama yang menentukan efektivitas yaitu dilihat dari kepemimpinan dan kesesuaian visi misi pada kabinet. Jika visi dan misi jelas serta dukungan dari kepemimpinan yang kuat terhadap Utusan Khusus Presiden, maka mereka dapat beroperasi lebih efektif dalam menjalankan tugas yang sejalan dengan program dan prioritas kabinet pada penyelesaian masalah. Faktor kedua dilihat dari kualitas Utusan Khusus Presiden yang akan mempengaruhi keberhasilan kabinet yang sedang berjalan, oleh karena itu UKP haruslah dilihat berdasarkan keahlian, pengalaman, serta keterampilan individu yang ditunjuk. Kemudian faktor selanjutnya yaitu diperlukannya koordinasi antar Lembaga serta responsivitas terhadap isu terkini. Ketika UKP berkoordinasi dengan Lembaga pemerintahan lainnya hal ini dapat meningkatkan dan mempercepat pencapaian tujuan dan meminimalisir tumpeng tindih penyelesaian masalah. Diperlukannya keaktifan UKP dan dapat beradaptasi terhadap isu yang sedang terjadi untuk dapat menemukan Solusi yang terbaik dan membawa dampak positif bagi penyelesaian masalah. Faktor terakhir yang juga mempengaruhi keefektivitas UKP dengan adanya dukungan dari Presiden dan Kabinet yang berjalan, sehingga tujuan yang direncanakan akan tercapai.

Kedudukan Utusan Khusus Presiden

Posisi Utusan Khusus Presiden dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah sebuah jabatan yang muncul sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menangani tugas atau masalah strategis yang memerlukan perhatian langsung dari Presiden. Posisi ini sering kali dimunculkan dalam konteks tugas-tugas tertentu, baik dalam diplomasi internasional, penanganan krisis, atau sebagai perpanjangan tangan Presiden dalam urusan yang memerlukan penyelesaian cepat dan fokus.

Meskipun Utusan Khusus Presiden tidak termasuk dalam bagian Menteri-Menteri, namun tugas yang diberikan kepada mereka tetap harus dipantau oleh Lembaga legislatif dan dipertanggung jawabkan kepada public. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh Utusan Khusus Presiden tetap dala koridor hukum yang berlaku dan tidak keluar dari batas kewenangan Presiden. Penunjukan Utusan Khusus Presiden harus dilaksanakan secara transparan, selain itu penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa semua penugasan dan pelaksanaan tugas dapat dipertanggung jawabkan dan tidak disalah gunakan sebagai posisi yang tidak efektif atau hanya untuk kepentingan politik sesaat. Jika kedudukan Utusan Khusus Presiden tidak dilandaskan pada dasar hukum yang jelas dan baik, maka akan berisiko menimbulkan berbagai masalah baik dari segi legalitas maupun efektivitas, dan juga akan berpotensi menjadi sarana untuk menyalahgunakan kekuasaan, serta kurangnya akuntabilitas Utusan Khusus Presiden.

Produk Hukum Yang Diwariskan

Produk hukum yang biasanya diwariskan dari Kabinet sebelumnya, yakni seperti Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur kebijakan tertentu yang tidak memerlukan perubahan mendalam sesuai dengan arah politik atau kebijakan Presiden yang baru, Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tugas atau pengangkatan pejabat tertentu, dan Instruksi Presiden (Inpres) yang berkaitan dengan penanganan isu strategis yang dapat tetap berlaku atau diubah oleh Presiden baru sesuai dengan kebiajakan yang baru.

Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024 yang menimbulkan berbagai komentar dikarenakan pengesahannya yang terkesan terburu-buru menjelang selesainya masa jabatan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Ada asumsi yang berpikir pengesahan Perpres ini bertujuan untuk menyelipkan kekuasaan pada kabinet baru. Saya mencoba menilik melalui beberapa referensi untuk dapat melihat hal ini dari realitas hukumya. Pada prinsipnya produk hukum yang dikeluarkan sebelum kabinet baru disahkan atau diwariskan produk hukum tersebut tetap berlaku sepanjang tidak dicabut atau diubah oleh kabinet baru. Namun, ada hal-hal yang perlu diperhatikan terkait apakah produk hukum kabinet sebelumnya dapat digunakan atau dipertahankan dalam kabinet baru?, terutama dalam konteks transisi pemerintahan dan perubahan kebijakan yang mungkin terjadi.

Secara umum Prinsip Keberlanjutan Hukum mengatur bahwa produk hukum yang sah dan dikeluarkan oleh Lembaga eksekutif (Presiden dan Kabinet) yang sah akan tetap berlaku hingga dicabut, diganti, atau diubah. Serta selama produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Dasar 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur struktur dan kewenangan pemerintahan. Jika nantinya ada perubahan kebijakan politik yang mungkin terjadi saat kabinet baru, maka produk hukum sebelumnya dapat dinilai Kembali dengan meninjau ulang produk hukum kabinet
sebelumnya. Selain itu jika produk hukum sudah tidak relevan atau bertentangan dengan kondisi hukum saat ini, Presiden dapat mengeluarkan kebijakan yang menyatakan pencabutan atau perubahan produk hukum tersebut.

Sejatinya, Kabinet Merah Putih yang dibentuk harus mampu menyelaraskan visi dan misi yang akan dijalankan dengan aspirasi rakyat. Tidak hanya janji manis yang disuarakan saat kampanye tapi perlunya perubahan yang signifikan membawa dampak positif yang terasa sampai kerakyat kecil. Jika pejabat elit mengemban tugasnya dengan baik dan sesuai dengan tupoksi mereka, maka Kabinet Merah Putih akan sangat efektif dan tercapai tujuannya. Pada intinya, tidak mengkhianati kepercayaan rakyat dan tidak tamak kursi kekuasaan adalah kunci untuk membangun Indonesia yang lebih maju.

Penulis : Haliza Meisarah

Pada 21 Oktober 2024, secercah harapan baru masyarakat Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024, yang menetapkan tugas dan fungsi 48 kementerian dalam Kabinet Merah Putih untuk periode 2024-2029. Ini merupakan langkah Presiden Prabowo Subianto untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan strategis dalam pemerintahannya dan memastikan bahwa setiap sektor utama mendapat perhatian khusus.

Akan tetapi dalam prosesnya langkah ini diwujudkan dengan merevisi jumlah kementerian yang sebelumnya dibatasi maksimal 34 berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Kementerian Negara. Perubahan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024, di mana Pasal 6A kini memperbolehkan pembentukan kementerian berdasarkan kebutuhan tertentu tanpa batasan jumlah. Lantas bagaimana Efektivitas dari adanya perubahan tersebut, beberapa kekhawatiran yang dapat dianalisis dari perubahan ini dapat ditelaah dari berbagai aspek yaitu dari segi Politik, Hukum, Ekonomi dan Kelembagaan.

Ditinjau dari segi Politik, Pengesahan RUU tentang Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ini dapat disebut Politik Akomodasi untuk meredam kekuasaan, bahwa penambahan jumlah kementerian ini lebih bertujuan untuk memenuhi kepentingan politik dalam mendistribusikan kekuasaan kepada partai-partai pendukung. Pengesahan UU yang dilakukan 5 hari sebelum pelantikan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden ini merupakan upaya untuk membagi posisi strategis dalam pemerintahan kepada koalisi pendukungnya, yang meliputi partai-partai besar dalam Koalisi Indonesia Maju.

Ditambah dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi UU disahkan pada 15 Oktober 2024 oleh Presiden Joko Widodo. Pengesahan yang bertepatan dengan 5 hari sebelum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden menimbulkan tanda tanya, bahkan masih banyak RUU dalam Prolegnas yang “menganggur” akan tetapi Revisi UU Kementerian Negara ini justru melalui proses yang cukup pesat. Pada saat itu Presiden sebelumnya Joko Widodo telah ada di akhir masa jabatan saat mengesahkan Revisi UU Kementerian Negara, yang mana secara tidak langsung Mantan Presiden Joko Widodo memberikan Payung Hukum kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas Kabinetnya dengan merevisi UU Kementerian Negara.

Disisi lain dapat dilihat beberapa menteri dalam Kabinet Merah Putih ialah orang-orang yang berada dalam Kabinet Indonesia Maju masa jabatan Presiden Joko Widodo. Termasuk Menteri Keuangan yaitu Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN yaitu Erick Thohir, dan Menteri Koperasi Indonesia saat ini yaitu Budi Arie Setiadi, yang sedang dirundung kontroversi atas masa jabatannya dulu sebagai Menteri Komunikasi dan Infomasi Indonesia Kabinet Indonesia Maju. Dikarenakan terkuaknya kasus Judi Online di Indonesia yang selama ini terdapat “bekingan” dari Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia saat itu. Hadirnya orang-orang pada masa pemerintahan Mantan Presiden Joko Widodo pada kekuasaan Presiden Prabowo Subianto membuktikan beberapa orang tersebut konsisten bekerja dengan baik dalam periode yang lalu akan tetapi ketika ada beberapa orang yang problematik justru tetap mendapat kursi pada masa pemerintahan Prabowo Subianto dapat memperbesar potensi Kabinet Merah Putih masih dikuasai warisan kekuasaan dari Presiden sebelumnya yaitu Joko Widodo. Tentunya dengan melanjutkan kehadiran menteri yang bermasalah di periode sebelumnya merupakan hal yang krusial, Presiden Prabowo Subianto harus membenahi kembali Kabinet Merah Putih untuk meletakkan posisi Menteri yang strategis dalam pemerintahannya.

Ditinjau dari segi hukum, dasar perubahan jumlah kementerian ini merujuk pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Kementerian Negara, yang mengatur bahwa perubahan struktur kementerian harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti efisiensi dan efektivitas, perubahan tugas dan fungsi, serta kesinambungan pelaksanaan tugas pemerintahan. Namun, urgensi untuk menambah jumlah kementerian hingga 48 masih menjadi pertanyaan besar dari sisi efisiensi anggaran dan efektivitas pemerintahan. Potensi beban anggaran tambahan serta kebutuhan akan harmonisasi regulasi merupakan isu penting yang perlu diatasi secara hukum, khususnya dalam hal tata kelola keuangan negara dan ketentuan mengenai penganggaran yang berkelanjutan.

Dari segi Kelembagaan, Penambahan kementerian membawa implikasi besar bagi struktur kelembagaan dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, pembentukan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang sebelumnya diatur melalui Badan Perlindungan Pekerja Migran. Penambahan kementerian ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih dengan Kementerian Ketenagakerjaan, yang memiliki tugas di bidang kebijakan ketenagakerjaan umum. Hal serupa mungkin juga terjadi dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, yang memiliki tanggung jawab administratif di bidang imigrasi dan pemasyarakatan. Tanpa kerangka hukum yang kuat untuk menjaga koordinasi lintas kementerian, potensi konflik kebijakan sangat tinggi, yang pada akhirnya dapat mengurangi efektivitas kebijakan dan layanan kepada masyarakat. Sebaiknya pembentukan kementerian baru juga membutuhkan harmonisasi regulasi agar kebijakan tidak saling tumpang tindih.

Ditinjau dari segi Ekonomi, perlu adanya mekanisme pengaturan yang memastikan sinkronisasi kebijakan antar kementerian dan pengaturan tata kelola yang baik untuk menghindari pemborosan anggaran. Mengingat prioritas pembangunan nasional, terutama proyek IKN (Ibu Kota Negara). Adanya informasi yang dilansir dari situs resmi bahwa pendanaan IKN akan didukung 53,5 persen dari APBN meski informasi ini berujung ditampik oleh pihak IKN dengan mengatakan jika ada berbagai sumber selain APBN. Di antaranya, kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), aset BUMN, sampai modal swasta yang nilainya dinamis, terutama Investor Asing. Akan tetapi per Agustus 2024, belum terdapat kejelasan Investor Asing yang mengantri dari mana dan jumlah pastinya hingga berujung rumor sebenarnya tidak ada atau minim Investor Asing yang sudah pasti berinvestasi di IKN. Meskipun akhirnya informasi 53,5 persen pendanaan IKN disokong oleh APBN ini keliru justru ini tetap sama saja karena pada dasarnya Mantan Presiden Joko Widodo sempat berjanji bahwa pembangunan ibu kota negara tak akan membebani APBN tetapi justru saat ini negara perlu menekan APBN untuk pembangunan IKN.

Baru-baru ini Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meminta anggaran tambahan kementeriannya dari Rp 64 miliar menjadi Rp 20 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk Kementerian-Kementerian lainnya yang mungkin akan meminta tambahan anggaran. Tentu dengan adanya hal tersebut, penambahan kementerian memerlukan pertimbangan lebih lanjut agar tidak mengganggu alokasi dana bagi program pembangunan strategis yang lain. Realisasi perubahan ini memerlukan peraturan turunan yang jelas dan anggaran yang terencana, untuk mencegah terjadinya pembengkakan anggaran yang tidak terduga. Permintaan anggaran tambahan yang diajukan oleh beberapa kementerian saat ini juga menunjukkan bahwa penambahan kementerian baru harus mempertimbangkan dampak fiskal secara menyeluruh.

Disisi lain pembentukan kementerian baru memiliki potensi manfaat, perlu ada evaluasi komprehensif terhadap pengaruhnya pada efektivitas pemerintahan, struktur kelembagaan, dan beban anggaran negara. Meskipun begitu, peningkatan jumlah kementerian juga dapat membuka lapangan kerja baru dan mendukung sektor-sektor tertentu dengan lebih fokus. Kementerian yang memiliki mandat spesifik seperti Perlindungan Pekerja Migran dapat memberikan perlindungan lebih intensif bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta membuka peluang kerja di sektor pendukung seperti pelatihan dan administrasi perlindungan tenaga kerja.

Meskipun demikian, dalam Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto, kami melihat usaha yang terwujud dalam semangat baja yang menyala untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan berdaulat. Di bawah kepemimpinannya, harapan tumbuh bak tunas baru di setiap penjuru negeri. Presiden Prabowo, dengan tangan yang tegas namun berhati lembut, menggenggam erat impian rakyat, memimpin dengan visi yang jernih dan ketulusan tanpa batas. Kabinet Merah Putih yang beliau bentuk adalah simbol kesatuan dan kerja keras, seperti samudera yang tak kenal henti mengalirkan energi demi kemakmuran Indonesia, semangat dan sukses selalu Bapak Presiden Prabowo Subianto.

Penulis : Dwi Kesuma Wardani

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur dimulai dengan pengumuman resmi dari Presiden Joko Widodo pada 26 Agustus 2019, yang menandai inisiatif untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta. Penetapan lokasi IKN di kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dilakukan setelah kajian mendalam mengenai risiko bencana alam dan potensi pengembangan wilayah tersebut. Untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan IKN, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara pada 15 September 2021 sebagai landasan hukum untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun pada tahun 2023 peraturan ini mengalami perubahan signifikan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023.

Pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur adalah salah satu proyek ambisius terbesar dalam sejarah Indonesia. Pemerintah mempromosikan IKN sebagai solusi atas permasalahan di Jakarta, termasuk overpopulasi, kemacetan, dan kerentanan terhadap bencana alam. Namun di balik antusiasme yang menyertai proyek pemindahan ibu kota ini, muncul pertanyaan yang mendalam: Apakah IKN benar-benar dapat memenuhi janji sebagai kota masa depan yang inovatif dan berkelanjutan, atau justru berisiko menjadi beban yang tidak perlu, dengan dampak negatif terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia? Pertanyaan ini mencerminkan ketidakpastian yang ada mengenai keberlanjutan dan dampak jangka panjang dari pemindahan ibu kota, yang tidak hanya memerlukan perencanaan yang matang, tetapi juga responsif terhadap tantangan kontemporer yang dihadapi oleh negara.

Tidak sedikit pihak yang meragukan urgensi dan kelayakan proyek ini, terutama dalam konteks kondisi ekonomi nasional saat ini. Anggaran pembangunan IKN diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, yang sebagian besar bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam situasi di mana pemerintah masih berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi, banyak yang mempertanyakan apakah dana ini lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71,8 triliun (setara dengan 4,6 miliar dolar AS) untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dalam periode 2022 hingga
2024. Dana ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rincian penggunaan anggaran menunjukkan bahwa pada tahun 2022, realisasi mencapai Rp 5,5 triliun atau sekitar 349 juta dolar AS, sementara pada tahun 2023, anggaran yang terserap meningkat menjadi Rp 27 triliun atau setara dengan 1,7 miliar dolar AS.Untuk dua bulan pertama tahun 2024, hingga 29 Februari, realisasi anggaran mencapai sekitar Rp 2,3 triliun atau 146 juta dolar AS. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa untuk tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 39,3 triliun (sekitar 2,5 miliar dolar AS).

Alokasi dana APBN ini memunculkan tantangan, terutama bagi sektor-sektor strategis lainnya yang membutuhkan dukungan APBN, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan daerah tertinggal. Pengalihan sebagian besar anggaran ke proyek IKN dapat menyebabkan keterbatasan pada sektor-sektor ini yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas pelayanan publik dan memperlambat peningkatan kualitas hidup di wilayah lain. Bagi beberapa daerah terutama yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah kebutuhan akan anggaran ini sama mendesaknya. Jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan adalah kebutuhan dasar yang jika tidak segera dipenuhi akan memperpanjang ketimpangan antarwilayah di Indonesia.

Selain itu, penerapan UU No. 21/2023 yang memungkinkan Otorita IKN (OIKN) untuk menarik utang luar negeri dengan jaminan pemerintah tanpa pengawasan penuh dari DPR juga menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Pertama, ini membuka celah bagi ketidaktertiban fiskal karena utang yang tidak transparan berisiko membengkak tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Kedua, ketentuan ini dapat meningkatkan beban fiskal negara jika proyek gagal memenuhi target ekonomi, sehingga pembayaran utang harus dialokasikan dari APBN yang seharusnya digunakan untuk sektor prioritas. Ketiga, ketergantungan pada investor asing dan utang luar negeri dapat memunculkan risiko geopolitik dan melemahkan kedaulatan nasional di wilayah IKN.

Terlepas dari permasalahan anggaran, pembangunan IKN juga menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan. Wilayah yang akan dikembangkan adalah kawasan hutan yang kaya biodiversitas. Meskipun ada klaim bahwa pembangunan akan memperhatikan prinsipprinsip keberlanjutan, skeptisisme tetap ada, mengingat sejarah eksploitasi sumber daya alam yang sering kali mengabaikan aspek lingkungan.

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang direncanakan sebagai smart city dengan mengintegrasikan teknologi digital dan keberlanjutan memang menyuguhkan harapan besar akan kota masa depan yang efisien dan ramah lingkungan. Namun, dalam implementasinya, proyek ini menghadirkan kontradiksi yang serius, terutama dalam hal dampak lingkungan. Pembangunan IKN di Kalimantan Timur, yang bertujuan menciptakan kota yang lebih modern dan berkelanjutan, malah berisiko merusak lingkungan yang kaya biodiversitas. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di kawasan tersebut mencatatkan angka yang mengkhawatirkan. Sejak 2018 hingga 2024, lebih dari 22.861 hektare hutan telah digunduli, dengan peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Pada periode 2019-2020 saja, hutan yang hilang mencapai 6.102 hektare, dan angka ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini berbanding terbalik dengan janji pemerintah untuk menjaga prinsip keberlanjutan dalam pembangunan IKN.

Selain itu, dampak sosial dan lingkungan semakin terasa. Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Fanny Tri Jambore Christanto, menyatakan bahwa proyek IKN telah menyebabkan konflik sosial, pelanggaran hak asasi manusia, dan perampasan sumber daya alam yang penting bagi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah ancaman kerusakan keanekaragaman hayati, terutama di Teluk Balikpapan, di mana sekitar 16.000 hektare kawasan mangrove terancam akibat eksploitasi yang terjadi seiring dengan pembangunan IKN. Keberadaan mangrove ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi daerah pesisir dari dampak perubahan iklim.

Dengan demikian, meskipun IKN dijanjikan sebagai kota masa depan yang mengutamakan keberlanjutan, kenyataannya malah menunjukkan ancaman serius terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial. Proyek ini seharusnya dipertimbangkan kembali agar tidak hanya menjadi “proyek mercusuar” yang membanggakan, tetapi juga benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat Indonesia tanpa merusak ekosistem yang ada. Proyek Ibu Kota Negara (IKN) memerlukan transparansi, pengawasan yang ketat, dan partisipasi aktif masyarakat sebagai elemen kunci dalam perencanaannya guna merealisasikan visi sebagai kota masa depan. Keberhasilan proyek ini tidak hanya bertumpu pada kebijakan yang inklusif, tetapi juga pada upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, pemerintah harus mampu menjawab skeptisisme publik melalui pencapaian hasil konkret yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga kepercayaan terhadap proyek ini dapat terbangun secara substansial.

Masa depan IKN dapat menjadi simbol kemajuan nasional atau malah berpotensi menjadi beban baru, tergantung pada bagaimana proyek ini dikelola. Rencana ambisius di atas kertas harus diiringi dengan komitmen nyata dari pemerintah untuk mewujudkan kota yang benarbenar inklusif, berkelanjutan, dan memberikan manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam perspektif jangka panjang, keberhasilan proyek ini akan diuji oleh waktu—apakah IKN dapat menjadi tonggak sejarah yang visioner atau sekadar langkah tergesa-gesa tanpa persiapan yang memadai.

Penulis : Cut Fitri Mulyana

The management of mineral and coal mining in Indonesia is regulated by Law No. 3 of 2020 concerning Amendments to Law No. 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining (hereinafter referred to as the Mining Law). Following the amendments to this law, the authority for regions to manage mines in their areas and oversee companies operating in those areas has been removed. This change is reflected in Article 8 of the Mining Law.

Both the Central Government and Local Governments have the authority to handle and manage natural resources. As a region with special autonomy, the province of Aceh already has written regulations under Law No. 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh (Aceh Governance Law). In this law, there is a provision in Article 156 titled “Management of natural resources” which grants authority to the Government of Aceh.

As a region with specific regulations under the Aceh Governance Law governing Natural Resources in Aceh, in accordance with Article 173A of the Mining Law:
“The provisions of this Law shall also apply to the Special Region of Yogyakarta Province, the Jakarta Capital City Province, Aceh Province, West Papua Province, and Papua Province insofar as they are not specifically regulated in the Law governing the special characteristics of those regions.”
This means that the regulations in the Mining Law do not apply to Aceh, which has its own specific provisions.

The province of Aceh holds the dual status of a regional government unit with specific characteristics based on the Aceh Governance Law, and also holds the status of a regional government unit with special characteristics according to Law No. 44 of 1999 concerning the Implementation of the Special Status of the Province of Aceh.

he province of Aceh has authority granted by the central government as written in the Aceh Governance Law (UUPA), clearly stated in Article 1 paragraph 2 which reads: “Aceh is a provincial
region that is a legal entity with special characteristics and is granted special authority to regulate and manage its own governance affairs and the interests of the local community in accordance with the laws and regulations within the system and principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia based on the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, led by a Governor.”

In the UUPA, Article 156 regulates the management of natural resources in the province of Aceh, which explains that Aceh has the authority to manage natural resources both on land and at sea within the Aceh region according to its jurisdiction, and this authority also includes the mining sector consisting of mineral mining, coal, geothermal, forestry, agriculture, fisheries, and maritime affairs.

However, in its implementation, the Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) has written to the Governor of Aceh No: T125/MB.05/SJN.H/2023 dated January 19, 2023, regarding the
Management of Coal and Mineral Mines in Aceh. In this letter, the Ministry of ESDM stated that the issuance of Mining Business Licenses in Aceh does not comply with the procedures and regulations as per the Mining Law, such as not going through a bidding process. Therefore, the registration of these Mining Business Licenses as Registered Mining Business Licenses (IUJP) cannot be done according to regulations, meaning that the Mining Business Licenses issued by the Government of Aceh cannot be valid.

Prof. Dr. Faisal A. Rani, S.H., M.Hum., a Professor at the Faculty of Law, Syiah Kuala University, stated that “In the case of a Special/Unique Regional Law that is Lex Spesialis in nature and specifically regulates the management of natural resources including the mining sector, then Article 173A of Law No. 3 of 2020 grants its authority based on the legal principle of Lex Spesialis derogate legi generalis (special provisions override general provisions).”

The Government of Aceh issued Governor’s Instruction No. 12 of 2020 regarding the Authority to Manage Mineral and Coal Mining in Aceh, in carrying out the mineral and coal mining
sector post the enactment of the Mining Law, guided by Article 173A of the Mining Law, as well as Article 156 of the UUPA, Article 5 and Article 6 of Government Regulation No. 3 of 2015 concerning
the National Government’s authority in Aceh, and Aceh Qanun No. 15 of 2013 concerning Amendments to Aceh Qanun No. 15 of 2013 concerning the Management of Minerals and Coal. This is intended to regulate according to duties, functions, and to support the authority of managing mineral and coal mining, while also stating that the authority for regulating mineral and coal mining in Aceh is jointly exercised by the Provincial Regional Government and the District/City Regional Governments according to their respective authorities. Thus, regarding licensing and all matters related to the above, the previous procedures used remain applicable.

Writer : Yanma Aditya Pratama

Pengelolaan Pertambangan Mineral serta Batubara di Indonesia diatur pada UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (berikutnya disebut UU Minerba). Setelah adanya perubahan Undang-Undang itu, ditemukan penghapusan kekuasaan bagi daerah untuk dapat mengelola tambang pada daerah serta melaksanakan pengawasan atas perusahaan yang berada di daerah tersebut. Perubahan yang dimaksud yakni Pasal 8 pada UU Minerba. Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan untuk menangani serta menjalankan SDA. Sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus, Prov. Aceh sudah memiliki aturan tertulis pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pada Undang-Undang tersebut terdapat kewenangan Pemerintah Aceh pada pasal 156 yang berjudul “Pengelolaan sumber daya alam”.

Sebagai daerah yang memiliki aturan khusus dalam UUPA yang telah mengatur mengenai Sumber Daya Alam di Aceh, jadi sesuai dengan peraturan pada pasal 173A UU Minerba :
“Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Ibu kota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.”
yang mengartikan bahwasannya aturan dalam UU Minerba tersebut tidak berlaku untuk Aceh yang memiliki ketentuan khusus.

Provinsi Aceh mendapatkan kedua status satuan pemerintahan daerah yang sifatnya spesifik berdasarkan UUPA, dan juga mendapat status satuan pemerintahan daerah yang sifatnya istimewa menurut UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Prov. Aceh memiliki kewenangan dari pemerintah pusat yang tertulis dalam UUPA, yang tertulis jelas dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur”.

Pada UUPA dalam pasal 156 yang memuat tentang pengaturan SDA di Provinsi Aceh yang mana menjelaskan bahwasannya Aceh memiliki kewenangan untuk dapat mengelola SDA baik di darat ataupun di laut pada kawasan Aceh sesuai dengan kekuasaannya, dan kewenangan itu juga mencakup sektor pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batubara, panas bumi, kehutanan, pertanian, perikanan, serta kelautan.

Akan tetapi dalam pengimplementasiannya Menteri ESDM sudah menyurati kepada Gubernur Aceh No: T125/MB.05/SJN.H/2023 tanggal 19 Januari 2023 tentang Pengelolaan Tambang
Batubara dan Mineral di Aceh, pada surat tersebut Kementerian ESDM menyatakan bahwa penerbitan Izin Usaha Pertambangan di Aceh tidak memenuhi tata cara dan prosedur sesuai peraturan UU Minerba seperti di antaranya tanpa melalui proses lelang, oleh karenanya pencatatan IUP tersebut sebagai IUJP terdaftar sesuai ketentuan tidak dapat dilakukan, dengan kata lain IUP yang diterbitkan
oleh Pemerintah Aceh tidak dapat berlaku.

Pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Syiaha Kuala, Prof. Dr. Faisal A. Rani, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa “Dalam hal suatu Undang-Undang Khusus/Istimewa suatu daerah Provinsi yang bersifat Lex Spesialis dapat mengatur sendiri secara khusus mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam yang meliputi bidang pertambangan, maka pasal 173A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 memberikan kewenangannya berdasarkan asas hukum Lex Spesialis derogate legi generalis (ketentuan yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum)”.

Pemerintah Aceh mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 2020 tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh, dalam menjalankan sektor pertambangan mineral dan batubara pasca terbitnya UU Minerba dengan berpedoman dalam Pasal 173A UU Minerba, serta Pasal 156 UUPA, Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2015 tentang kewenangan Pemerintah yang sifatnya Nasional di Aceh serta Qanun Aceh No. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Qanun Aceh No. 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Mineral dan Batubara, yang merupakan untuk mengatur sesuai tugas, fungsi dan untuk mendukung kewenangan pengelolaan pertambangan mineral serta batubara, sekaligus menyatakan bahwasannya kekuasaan pengaturan pertambang mineral serta batubara di Aceh dijalankan secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah Provinsi serta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan kekuasaannya. Sehingga mengenai perizinan segala hal terkait dengan hal yang disebutkan di atas tetap sesuai prosedur terdahulu yang pernah digunakan.

Peraturan Perundang-Undangan:
1. UU No. 3 Tahun 2020 Mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2. UU No. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
3. QANUN ACEH NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
4. Instruksi Gubernur Aceh Nomor 12/INSTR/2020 Tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Aceh

Penulis : Yanma Aditya Pratama

Bisnis kecantikan saat ini menjadi salah satu primadona di kalangan perempuan Aceh. Klinik kecantikan menjamur dimana-mana dengan menawarkan berbagai treatment dan laris manis. Berkembangnya bisnis ini berbanding lurus dengan permasalahan hukum yang mungkin terjadi.

Salah seorang advokat senior Aceh, Nourman Hidayat, Managing Partner di Kantor Hukum Nourman & Partner, memberikan beberapa catatan bagi pengusaha bisnis kecantikan dan perawatan kulit agar tetap berhati-hati dari tergelincir dalam permasalahan hukum.

Menurut Nourman risiko permasalahan hukum yang mungkin dihadapi oleh bisnis kecantikan termasuk produk skin care meliputi masalah legalitas produk, pelabelan yang menyesatkan, klaim yang tidak didukung secara ilmiah, serta tuntutan hukum terkait efek samping produk.

“Penting untuk memastikan semua produk sesuai dengan regulasi yang berlaku dan tidak melanggar hak kekayaan intelektual orang lain” ingat Nourman.
Beberapa sengketa merek dagang berakhir di meja pengadilan.

Nourman menyarankan sebaiknya perlu konsultasikan dengan ahli hukum untuk memastikan bisnis kecantikan dan skin care berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Salah satu yang paling menjadi momok dalam bisnis ini adalah terjadinya efek samping yang masuk kategori mal praktek.

“Malpraktek dalam bisnis ini termasuk memberikan perawatan yang tidak sesuai standar medis, menyebarkan informasi yang menyesatkan mengenai produk atau layanan, mengabaikan kesehatan dan keselamatan konsumen”.

Nourman juga menyebutkan hal lain yang berisiko pada mal praktik yaitu  menggunakan bahan-bahan berbahaya tanpa izin atau tanpa sepengetahuan konsumen.
“Harus dihindari praktik seperti memberikan perawatan medis tanpa lisensi yang sesuai, membuat klaim palsu mengenai manfaat produk, atau menyalahgunakan informasi pribadi konsumen. Penting untuk selalu menjaga etika bisnis dan memprioritaskan kesejahteraan konsumen dalam setiap aspek bisnis skin care Anda”. Lanjut Nourman.
“Kami pernah menangani perkara mal praktek dimana pemilik klinik kecantikan dilaporkan oleh kliennya dan sempat diproses di Polresta Banda Aceh”.Tutupnya.

*Bagi anda pemilik, atau dokter dan perawat yang mengelola bisnis klinik kecantikan dan skin care yang ingin konsultasi terkait artikel di atas, silahkan hubungi kami melalui kontak yang ada di www.advokatnourman.com

Kantor hukum Nourman & Partner Banda Aceh, Selasa, 27 Februari menandatangani Memorandum Of understanding (MOU) dengan Universitas Muhammadyah Aceh terkait kerjasama dalam bidang implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) khususnya Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB).

Penandatanganan dilakukan langsung oleh Rektor Unmuha, Dr. aslam Nur , MA. Sementara itu hadir mewakili managing partner kantor hukum Nourman adalah M. Farhan Adriansyah dan Difa Rahadatul Aisyi.

MoU dilakukan dengan beberapa mitra Unmuha yaitu Notaris/PPAT Hj. Siti Rahmah, SH, M.Kn, Bank BPRS Baiturrahman, PT. Berjaya Abadi Kita, dan Advokat Nourman & Partner Banda Aceh di Ruang Aula Rektorat Unmuha pada Selasa, 27 Februari 2024.

Hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Rektor 1 Dr. Fadhlullah, SH, MS, Wakil Rektor 2 Almanar, SH, MH, dan Wakil Rektor 3 Dr. Ir. Zardan Araby, MT, Kepala Kantor Urusan Internasional dan Kerjasama Dr. Febyolla Presilawati, SE, MM.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut Kepala Biro Umum Dr. Nuzulman, SE, M.Si, Kepala Biro Keuangan Muhammad Yamin, SE, M.Si, Kepala Biro Kemahasiswaan Surya Fatma, SE, M.Si, dan Kabag Humas Mimiasri, SE, M.M serta para Dekan dan Direktur Pascasarjana di Lingkungan Unmuha.

Dalam sambutannya, Rektor Unmuha Dr. Aslam Nur, MA, menyampaikan bahwa kerjasama antara kampus dengan lembaga praktisi sangat penting untuk dilaksanakan dalam program Kampus Merdeka. MoU yang ditandatangani hari ini akan diimplementasikan.

“Perpaduan antara praktisi yang bekerja di dunia nyata dengan kampus kami yang mengajarkan teori sangat penting. Selain menerima mahasiswa kami untuk magang, kedepannya para praktisi juga dapat mengajar di kampus kami dalam program praktisi mengajar,” kata Rektor.

Rektor juga menyampaikan bahwa saat ini Universitas Muhammadiyah Aceh memiliki akreditasi institusi “Baik Sekali” dan berdasarkan informasi Badan Penjaminan Mutu merupakan universitas swasta satu-satunya di Aceh yang terakreditasi dengan predikat tersebut.

Dalam kesempatan terpisah, managing partner, Nourman mengatakan, bahwa pihaknya selalu menyambut baik segala bentuk kolaborasi termasuk antara praktisi dengan dunia kampus. “Kampus menyiapkan generasi intelektual, sedangkan kami menyiapkan pribadi yang siap secara praktis dan memiliki keunggulan soft skill dan etik”

Profesional Trainer Nasional asal Aceh, Cut Nova Elita berkolaborasi dengan kantor hukum Norman & Partner Banda Aceh. Kolaborasi ini terkait analisa perilaku dan dokumen forensik dalam perkara perdata maupun pidana. Termasuk psikologi dan hipnoterapi.
Hal ini dinyatakan Nourman setelah menerima kunjungan Cut Nova Elita di kantornya pada hari selasa, 20 februari 2024.

Menurut Nourman kolaborasi ini memperkuat kapasitas tim hukum dan penelitian serta observasi dalam semua perkara.
“Semakin detail pemahaman kasus, semakin akurat analisa hukum” kata Nourman lagi.

Sebaliknya, Cut Nova Elita juga memerlukan pandangan hukum dalam menangani setiap konsultasi dan training yang dia lakukan.
“Jadi klop, ini kolaborasi penting dan strategis, kami memiliki misi dan visi yang sama. Kami akan saling melengkapi.” kata Cut Nova Elita.

Cut Nova Elita adalah salah satu trainer terkemuka di Indonesia dengan puluhan sertifikat keahlian yang dimilikinya yang mumpuni. oleh karenanya kolaborasi Kantor Hukum Nourman dan Cut Nova Elita akan menjadi salah satu model pendampingan hukum yang modern.

Jam terbang yang tinggi menyebabkan Cut Nova Elita diperhitungkan di tingkat nasional. Pemilik nama lengkap Cut Nova Elita, SE, M. Si, CPS, CT, CH, CHi (IACT_USA), CI, C.EHt, CHA, CMCC, CMMH, CMHA, C.EFT, C.LdP, CAMP,CGHNC, CHC, CNLPC masih terus belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya.

Selama ini publik mengenal Cut Nova Elita hanya Sebagai public speaker. Padahal dia juga memiliki banyak keahlian yang diperlukan baik dalam pemeriksaan di pengadilan maupun dalam pemeriksaan di kepolisian maupun lembaga lainnya.
Beberapa skill Cut Nova adalah sebagai
Public Speaker & Trainer,
Public Relation Consultant ,
Konselor Hypnoterapist ,
Office & UMKM Consultant ,
Grafolog & Grafonom Forensic ,
Profesional Image Consultant ,
Leadership Mentor ,
Parenting Consultant, dan
Trainer di berbagai Kementrian.

Sementara itu untuk memperkuat kapasitas dirinya, Cut Nova Elita memegang beberapa sertifikat keahlian baik
BNSP maupun International, yaitu : International Asssociation Counselor and Therapist IACT -USA , Master Grafologi KAROHS INTERNATIONAL SCHOOL HANDWRITING ANALYSIS, Public Relation BNSP , Metodologi Instruktur BNSP , Trainer Level 3 BNSP , Master Trainer Level 6 (on proses) BNSP , Hypnosis BNSP Hypnoterapist BNSP, Certified PUblic Speaker EMOTIONAL SPIRITUAL QUENTIENT (ESQ) , Certified Hypnosis, Hypnoterapi, Master and Instructure , INDONESIA HYPNOSYS CENTRE (IHC) , Consultant Neuro Languange Programming IHC , Certified Master Modern Metafesika Hypnosis IHC , Certifed SEFT COACH LOGOS VILLAGE, Certified Profesional Speaker AKADEMI TRAINER , Certified Mentor PPA INSTITUTE , Certified Face Reading INTI MAKNA , Certified PAZTROPER , Certified Grafonomi Forensic LKP, GRAFOLOGI INDONESIA , Certified Service Excelent Prosma Consulting , Certified Lie Detection Forensic IHC , Certified Doodle Analysis RICH INNOVATION , Certified Coaching WELLDONESKILL , Sekaligus sebagai Founder Muthmainnah Griya Hypnoterapi. Menurut Cut Nova Elita, banyak nya sertifikasi yang ia ikuti berbanding lurus dengan niatnya untuk bisa bermanfaat untuk masyarakat.

Cut Nova Elita dan kantor hukum Nourman memiliki komitmen yang sama yaitu memberi rasa keadilan kepada masyarakat dengan berbagai aktivitas pembelaan dan advokasi.

Sebelumnya Nourman lawfirm juga bekerja sama dengan psikologi forensik Endang Setianingsih. Beberapa perkara pidana juga dibahas dalam diskusi bedah kasus di ruang HAMKA kantor hukum Nourman.
Gelar kasus ini mempertajam cara pandang dan menghadirkan sikap kritis atas proses penegakan hukum.

Kantor hukum Nourman & partner Aceh saat ini telah melayani konsultasi hukum gratis terhadap lebih dari 1500 orang pencari keadilan.  Konsultasi hukum ini dilakukan baik melalui pertemuan langsung, via online maupun telpon jarak jauh. Hal Ini disampaikan Managing Partner Nourman Law Firm,  Nourman Hidayat kepada media ini pada Rabu, 10 januari 2024.

Menurut Nourman, konsultasi hukum ini dilakukan oleh pihaknya untuk memberikan jalan keluar cepat bagi para pencari keadilan atas permasalahan yang mereka hadapi yang memerlukan pandangan hukum segera.
“Ketika panik pertama sering sekali seseorang salah langkah dan berpotensi timbul masalah baru yang merugikan dirinya bahkan bisa mengancam jiwanya”.

Konsultasi hukum yang dilakukan Nourman efektif dimulai sejak awal berdirinya kantor hukum yaitu Nopember 2020 hingga saat ini. Selain dengan klien dari Aceh, Konsultasi juga dilakukan dengan Klien yang berasal dari seluruh Indonesia.

“Sebuah kebahagiaan bisa membantu masyarakat sejak panik pertama mereka. Semoga bisa jadi solusi dan jalan keluar yang cepat di masa darurat bagi mereka yang menghadapi masalah hukum”. Kata Nourman lagi.
Nourman menegaskan , bahwa pihaknya memang menggratiskan konsultasi hukum.

“Dipastikan konsultasi ini gratis. Sebatas konsuktasi saja. Sedangkan pendampingan hukum tetap berlaku secara profesional, berbayar. Dimana, sejak ditanda tangani kuasa hukum maka sejak itu muncul kewajiban bagi Nourman lawfirm untuk mendampingi, baik di dalam sidang maupun di luar sidang”.

Apa yang dilakukan Nourman ini mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Sebelumnya anggota komisi 3 DPR RI yang membidangi masalah hukum dan keamanan, M. Nasir Djamil beberapa waktu lalu juga menyampaikan apresiasi kepada Nourman dan Kantor Hukum Nourman atas kontribusinya melayani masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

Nourman menjelaskan bahwa ada banyak kasus yang dikonsultasikan kepada pihaknya yang relatif bervariasi. Beberapa kasus pidana yang paling rentan adalah Tindak pidana korupsi. Namun begitu, perkara perdata juga mendominasi.
“Jika diurai permasalahan perdata yang dikonsultasi berkisar antara permasalahan keluarga termasuk soal harta warisan dan bisnis.  Dalam beberapa konsultasi kami memberikan advice penyelesaian yang paling elegan dan terhormat bagi para pihak. Sedangkan langkah hukum adalah Ultimum Remedium, upaya terakhir  yang tidak ada jalan lain selain proses hukum” kata Nourman.

Konsultasi lain yang juga banyak diajukan oleh klien adalah permasalah bisnis, soal perjanjian yang tidak klien dan lemahnya materi perjanjian. Perjanjian seperti ini biasanya tidak bisa dieksekusi, berakibat sengketa yang panjang dan melelahkan.

Semua konsultasi ini pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk menggunakan pengacara atau tidak perlu pengacara.

Page 1 of 71 2 3 7
logo-footer