Penulis: Teuku Muhammad Dhava, Shella Oetharry Gunawan, Novtiar Tiara Dista (Mahasiswa Magang dari Universitas Syiah Kuala)

Anak merupakan aset, pewaris dan penerus bangsa dimasa yang akan datang serta memiliki harapan hidup yang masih panjang dan merupakan penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa yang harus diwujudkan. Anak-anak memiliki perbedaan cara berfikir dan bertindak dengan orang dewasa, hal itu juga dipengaruhi dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda baik secara umum maupun dalam bidang hukum. Anak-anak yang belum memiliki kecakapan terhadap pengetahuan hukum seharusnya diedukasi dan masih dalam pengawasan  orang tua.

Di era globalisasi kemudahan dalam mendapat informasi baru berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang dan pola pikir anak, karena mereka dapat mengakses segala informasi dengan cepat tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa secara intens. Diusia anak-anak masih terdapat keterbatasan dalam memfilter mana konten yang positif atau yang negatif untuk dikonsumsi, alhasil banyak pengaruh buruk yang terekam dalam memori anak dan mempengaruhi tindakannya dalam kehidupan. Sehingga tidak mengherankan dewasa ini banyak terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anak. Ketidakmampuan anak dalam memvalidasi emosinya berdampak pada psikologisnya yang mungkin didasari rasa traumatis (inner child) dimasa lalu yang berefek buruk terhadap tumbuh kembangnya. Selain itu faktor-faktor lain baik internal maupun eksternal juga berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan anak.

Belakangan ini tindakan kriminalitas lumrah dilakukan oleh anak-anak diusia yang masih sangat belia, kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak ini tentunya sangat meresahkan, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2021 terdapat 2.982 kasus terkait perlindungan khusus anak yang kasusnya dilaporkan ke KPAI, dimana sebanyak 1.138 kasus yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik atau psikis.tentunya hal ini memerlukan penanganan khusus mengingat baik pelaku maupun korban merupakan anak-anak.

Di Indonesia sendiri regulasi terkait Proses Peradilan Anak lebih pada pendekatan Diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Pengaturan ini merupakan dasar hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak melalui proses diluar pengadilan.

Sebagai sebuah kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal, Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Diversi merupakan proses pengadilan anak yang dilakukan bersamaan dengan pendekatan Keadilan Restoratif. Berbeda dengan Keadilan Retributif yang menekankan penghukuman atau pembalasan terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebagai pilihan utama, serta keadilan restitusi yang menekankan keadilan pada pemberian ganti rugi,  Keadilan Restoratif menekankan keadilan pada perbaikan atau pemulihan keadaan berorientasi pada korban, dan juga memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab, memberikan kesempatan pada pelaku dan korban untuk bertemu dengan tujuan mengurangi permusuhan dan kebencian serta mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dengan melibatkan dengan anggota.

Pasal 7 UU SPPA menyebutkan bahwa Diversi merupakan hal yang wajib diupayakan  baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun,  bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dan dilakukan terhadap anak yang berusia 12 tahun keatas sampai sebelum 18 tahun.

Dalam hukum pidana sendiri tingkat kejahatan dibagi menjadi 3 golongan yaitu ringan, sedang dan berat. Pada golongan ringan sangat memungkinkan digunakan upaya Diversi dalam penyelesaian sebuah kasus tindak pidana, pada golongan sedang dapat pertimbangkan sedangkan pada golongan tindak pidana berat tidak dimungkinkan adanya penggunaan Diversi sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. 

Proses Diversi sendiri dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial profesional. Dalam proses Diversi tentunya hal-hal seperti kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, menghindari stigma negatif, menghindari pembalasan, keharmonisan serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum merupakan kewajiban untuk diperhatikan. Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 9 ayat (1) SPPA hal-hal yang harus dipertimbangakan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam pelaksanaan Diversi menyangkut dengan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga serta masyarakat.

Kemudian perlu dipahami bahwa Diversi memerlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk dapat dilaksanakan yaitu korban dan atau keluarga anak korban serta ketersediaan anak dan keluargannya, serta dikecualikan untuk tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan.

Berdasarkan pasal 11 UU SPPA hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk :

  1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian
  2. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali,
  3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
  4. LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling lama 3 (tiga) bulan, atau
  5. Pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi dan ditandatangani semua pihak.

Kemudian bagaimana jika Diversi tidak berhasil dan tidak mencapai kesepakatan ?

Dalam hal proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka dilanjutkan dengan proses peradilan pidana anak sesuai aturan formal melalui tahapan-tahapan peradilan sesuai KUHAP.

Dengan adanya peraturan mengenai Diversi ini, diharapkan dapat menjadi alternatif pilihan penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dan juga besar harapan konsep Diversi dapat menjadi peraturan yang dapat melindungi, membina, serta membimbing anak pelaku tindak pidana sehingga tidak merusak mental, psikis dan masa depan anak. Tentunya juga diharapkan memberi kesempatan kepada anak untuk memperbaiki diri atas kemauannya sendiri tanpa adanya paksaan.

Anak merupakan aset, pewaris dan penerus bangsa dimasa yang akan datang serta memiliki harapan hidup yang masih panjang dan merupakan penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa yang harus diwujudkan. Anak-anak memiliki perbedaan cara berfikir dan bertindak dengan orang dewasa, hal itu juga dipengaruhi dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang berbeda baik secara umum maupun dalam bidang hukum. Anak-anak yang belum memiliki kecakapan terhadap pengetahuan hukum seharusnya diedukasi dan masih dalam pengawasan orang tua.

Di era globalisasi kemudahan dalam mendapat informasi baru berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang dan pola pikir anak, karena mereka dapat mengakses segala informasi dengan cepat tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa secara intens. Diusia anak-anak masih terdapat keterbatasan dalam memfilter mana konten yang positif atau yang negatif untuk dikonsumsi, alhasil banyak pengaruh buruk yang terekam dalam memori anak dan mempengaruhi tindakannya dalam kehidupan. Sehingga tidak mengherankan dewasa ini banyak terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh anak-anak. Ketidakmampuan anak dalam memvalidasi emosinya berdampak pada psikologisnya yang mungkin didasari rasa traumatis (inner child) dimasa lalu yang berefek buruk terhadap tumbuh kembangnya. Selain itu faktor-faktor lain baik internal maupun eksternal juga berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan anak.

Belakangan ini tindakan kriminalitas lumrah dilakukan oleh anak-anak diusia yang masih sangat belia, kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak ini tentunya sangat meresahkan, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2021 terdapat 2.982 kasus terkait perlindungan khusus anak yang kasusnya dilaporkan ke KPAI, dimana sebanyak 1.138 kasus yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik atau psikis.tentunya hal ini memerlukan penanganan khusus mengingat baik pelaku maupun korban merupakan anak-anak.

Di Indonesia sendiri regulasi terkait Proses Peradilan Anak lebih pada pendekatan Diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Pengaturan ini merupakan dasar hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak melalui proses diluar pengadilan.

Sebagai sebuah kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal, Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Diversi merupakan proses pengadilan anak yang dilakukan bersamaan dengan pendekatan Keadilan Restoratif. Berbeda dengan Keadilan Retributif yang menekankan penghukuman atau pembalasan terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan sebagai pilihan utama, serta keadilan restitusi yang menekankan keadilan pada pemberian ganti rugi, Keadilan Restoratif menekankan keadilan pada perbaikan atau pemulihan keadaan berorientasi pada korban, dan juga memberikan kesempatan pada pelaku untuk mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus bertanggung jawab, memberikan kesempatan pada pelaku dan korban untuk bertemu dengan tujuan mengurangi permusuhan dan kebencian serta mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dengan melibatkan dengan anggota.

Pasal 7 UU SPPA menyebutkan bahwa Diversi merupakan hal yang wajib diupayakan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, bukan merupakan pengulangan tindak pidana, dan dilakukan terhadap anak yang berusia 12 tahun keatas sampai sebelum 18 tahun.
Dalam hukum pidana sendiri tingkat kejahatan dibagi menjadi 3 golongan yaitu ringan, sedang dan berat. Pada golongan ringan sangat memungkinkan digunakan upaya Diversi dalam penyelesaian sebuah kasus tindak pidana, pada golongan sedang dapat pertimbangkan sedangkan pada golongan tindak pidana berat tidak dimungkinkan adanya penggunaan Diversi sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Proses Diversi sendiri dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial profesional. Dalam proses Diversi tentunya hal-hal seperti kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, menghindari stigma negatif, menghindari pembalasan, keharmonisan serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum merupakan kewajiban untuk diperhatikan. Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 9 ayat (1) SPPA hal-hal yang harus dipertimbangakan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam pelaksanaan Diversi menyangkut dengan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga serta masyarakat.

Kemudian perlu dipahami bahwa Diversi memerlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk dapat dilaksanakan yaitu korban dan atau keluarga anak korban serta ketersediaan anak dan keluargannya, serta dikecualikan untuk tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan.
Berdasarkan pasal 11 UU SPPA hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk :
1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian
2. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali,
3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
4. LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) paling lama 3 (tiga) bulan, atau
5. Pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi dan ditandatangani semua pihak.
Kemudian bagaimana jika Diversi tidak berhasil dan tidak mencapai kesepakatan ?
Dalam hal proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka dilanjutkan dengan proses peradilan pidana anak sesuai aturan formal melalui tahapan-tahapan peradilan sesuai KUHAP.

Dengan adanya peraturan mengenai Diversi ini, diharapkan dapat menjadi alternatif pilihan penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dan juga besar harapan konsep Diversi dapat menjadi peraturan yang dapat melindungi, membina, serta membimbing anak pelaku tindak pidana sehingga tidak merusak mental, psikis dan masa depan anak. Tentunya juga diharapkan memberi kesempatan kepada anak untuk memperbaiki diri atas kemauannya sendiri tanpa adanya paksaan.

logo-footer