Pernahkah anda melihat penarikan paksa objek kredit oleh debt collector? Lalu bagaimana peranan yang harusnya dilakukan debt collector sebagai penagih hutang dalam menarik barang milik kreditur?

Di zaman sekarang banyak sekali terjadinya penarikan paksa objek jaminan yang dilakukan oleh debt collector, pada prakteknya banyak sekali terjadi khusunya pada kendaraan bermotor dan tidak jarang debt collector menggunakan upaya paksa bahkan kekerasan. Pada hakikatnya debt collector sebagai bagian dari lembaga kreditur/ leasing hanya berperan sebagai penagih hutang dan tidak bertindak sebagai tukang pukul dan maupun premanisme.

Oleh karena itu harusnya debt collector dapat bertindak secara professional dengan mengikuti Standar Operasional Perusahaan (SOP) dan tidak melakukan perbuatan yang dapat melanggar hukum. Sebelum berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi N0.18/PUU-XVII/2019, pelaksanaan penyitaan objek jaminan fidusia dilakukan apabila terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur kepada pihak kreditur, penyitaan atau eksekusi objek jaminan fidusia sebelumnya oleh perusahaan pembiayaan dapat langsung melakukan parate executie atau penyitaan sepihak dengan menggunakan sertifikat jaminan fidusia sesusai dengan ketentuan pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Tetapi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi N0.18/PUU-XVII/2019 mengenai pelaksanaan eksekusi pada objek jaminan fidusia, pihak lembaga pembiayaan masih tetap melakukan penyitaan sepihak tanpa penetapan dari pengadilan terlebih dahulu jika debitor melakukan wanprestasi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia khususnya Pasal 15, terdapat kesalahan penafsiran terkait dengan proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kreditnya bermasalah.

Sebagian menafsirkan bahwa proses penarikan objek jaminan fidusia harus melalui pengadilan, namun sebagian menganggap bahwa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang maka dapat melakukan parate executie, dan hal inilah yang kemudian terjadi di masyarakat dengan penarikan paksa objek jaminan fidusia oleh debt collector. Debt collector adalah pihak ketiga yang ditunjuk oleh kreditur dengan tujuan untuk menagih hutang debitur yang menunggak dengan kriteria tertentu. Tidak semua jenis hutang akan ditagih oleh debt collector, tetapi biasanya jenis hutang yang ditagih adalah hutang yang sudah terlalu lama dari jatuh temponya tidak terbayar oleh debitur. Penagihan hutang harus dilakukan dengan etika dan standar perusahaan yang berlaku.

Pemilik hutang juga harus memiliki kesadaran untuk membayarkan hutang dengan tepat waktu sesuai dengan perjanjian. Sementara, kreditur dan debt collector hanya melaksanakan tugas untuk dapat menagih hutang agar kinerja perusahaan tetap terjaga, terutama pada kasus debitur menunggak atau terlambat membayar. Namun, terkadang ada saja kejadian penagihan yang dilakukan oleh debt collector yang terkesan tidak baik, seperti melibahtkan kekerasan secara fisik maupun verbal. Hal ini yang membuat citra debt collector menjadi buruk. Hingga saat ini belum ada perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara khusus mengenai tata cara penagihan yang dilakukan oleh debt collector. Namun, kita dapat mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia yang menjelaskan etika dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh Lembaga Keuangan atau jasa debt collector dalam melakukan penagihan terhadap debitur yang wanprestasi.

Hal tersebut diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012 tentang Perubahan Pertama dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/25/DKSP Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Dan kemudian ditegaskan lagi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi N0.18/PUU-XVII/2019, yang mana bahwa jika debitur telah melakukan wan prestasi maka debt collector sebagai pihak yang mewakili perusahaan pembiayaan atau leasing tidak boleh melakukan parate executie jika debitur tidak rela menyerahkan objek jaminan tersebut, dalam hal ini untuk dapat melakukan eksekusi maka pihak perusahaan pembiayaan harus membarengi dengan putusan pengadilan.

Debt Collector atau penagih utang harus memiliki sertifikasi profesi, hal tersebut diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Kuangan (POJK) nomor 35 tahun 2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan. Sertifikasi profesi bagi debt collector atau penagih utang tersebut biasanya dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). Debt Collector atau penagih utang harus menunjukkan sertifikasi profesinya saat melakukan tugas tagihan kepada debitur. Jika dalam menjalankan tugasnya debt collector tersebut ternyata tidak memiliki sertifikasi profesi maka akan diberikan sanksi. Seorang debt collector tidak boleh melakukan paksaan untuk menyita barang-barang atau obejek jaminan milik debitur yang wanprestasi. Penyitaan barang debitur yang wanprestasi hanya boleh dilakukan atas putusan pengadilan.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Jika dalam melakukan penagihannya, debt collector tetap melakukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, maka Ia dapat dijerat oleh Pasal 365 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.” Lantas pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Debt Collector akan kehilangan eksistensinya?

Penulis: Imam Tabrani Kurniawan (Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)

Write a comment:

*

Your email address will not be published.

logo-footer