Maraknya Risiko Hukum
Pengembang terkadang terlalu pede untuk mengelola risiko hukum, sementara secara faktual memang berada dalam posisi yang salah atau setidak-tidaknya dapat dipersalahkan sebagai perbuatan wan prestasi atau perbuatan melawan hukum. Bisa jadi, pengembang meyakini dirinya dapat memengaruhi penegakan hukum, sementara secara normatif sudah melanggar rambu-rambu regulasi yang terdapat dalam undang-undang. Namun apa yang terjadi saat ini, seakan meluluhlantakkan tingkat keperkcayaan diri yang berlebihan itu.
Fakta hari ini memperlihatkan maraknya risiko hukum yang dihadapi pengembang. Risiko hukum ini mengantarkan pengembang untuk dimintai pertanggungjawaban baik secara perdata, secara pidana atau secara administrasi negara. Pertanggungjawaban tidak hanya dibebankan
kepada perusahaan, tetapi juga secara pribadi direksi atau Komisaris bahkan tidak tertutup kemungkinan kepada para pemegang saham.
Banyak kasus hukum sudah terjadi. Dari mulai direksi sebuah perusahaan besar properti yang terjerat kasus perizinan, atau proyek properti mangkrak akibat diletakkan sita lahan lokasi proyeknya dalam perkara perdata ataupun pidana. Di sisi lain, konsumen properti, supplier dan kontraktor juga mulai terampil memanfaatkan sarana PKPU dan Kepailitan di Pengadilan Niaga untuk melakukan upaya penagihan utang. Jadi masihkah pengembang mau main-main dengan risiko hukum ini?
Data yang dilansir Harian Kontan edisi 22 Juni 2018 mengungkapkan bahwa pengembang saat ini sudah relatif banyak diajukan sebagai Termohon dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan di Pengadilan Niaga. Bisnis properti menduduki peringkat kedua setelah sektor manufaktur pada semester I 2018. Pada periode ini terdapat 25 kasus PKPU dan 2 kasus kepailitan.
Maraknya kasus ini tidak semata karena adanya anggapan perlambatan ekonomi tetapi juga karena tingkat spekulasi yang tinggi dari pelaku usaha properti.
Jika kita perhatikan penanganan perkara PKPU dan Kepailitan saat ini masih didominasi Pengadilan Niaga Jakarta. Meskipun demikian, kasus-kasus PKPU dan Kepailitan terhadap pengembang ini juga sudah berlangsung di Pengadilan Niaga di Surabaya, Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Makassar dan Pengadilan Niaga Semarang.
Ini artinya sengatan PKPU dan Kepailitan sudah dirasakan oleh pengembang hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Harus juga disadari derita akibat kasus PKPU dan Kepailitan ini tidak hanya dirasakan oleh pelaku bisnis properti yang bergerak dalam pembangunan gedung bertingkat (high rise building) seperti apartemen, kondominium dan hotel tetapi juga residensial (landed).
Potret Risiko Hukum
Potret risiko hukum yang dihadapi pengembang saat ini tidak hanya tercatat pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga pada Pengadilan Niaga. Risiko hukum yang dihadapi di Pengadilan Negeri tidak hanya dalam kasus perdata tetapi juga kasus pidana.
Dalam kasus pidana pengembang secara korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban dalam tindak pidana korporasi. Risiko hukum pada Pengadilan Tata Usaha Negara disebabkan karena adanya cacat hukum dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah yang menjadi lokasi proyek perumahan. Sedangkan risiko hukum pada Pengadilan Niaga disebabkan karena pengembang memiliki sedikitnya dua kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan dapat dibuktikan secara sederhana.
Melihat relatif maraknya risiko hukum dalam binsis properti, maka pengembang harus waspada atas adanya potensi risiko hukum dalam investasi properti. Terdapat beberapa potensi risiko hukum yang harus diwaspadai. Pertama, dalam hal pembebasan hak atas tanah. Pembebasan hak atas tanah harus dilakukan kepada pihak yang sepenuhnya berhak.
Kedua, konflik yang muncul antara pengembang dan pemilik tanah dalam hal adanya kerjasama pemanfaatan lahan. Ketiga, sengketa antara pengurus dan pemegang saham dalam perusahaan. Keempat, persyaratan dalam perizinan yang dan legalitas tanah belum sempurna tetapi sudah melaksanakan aktivitas pemasaran properti. Pengurusan perizinan seperti IMB secara bertahap misalnya memiliki risiko hukum karena asumsi jumlah lantai bangunan dalam cashflow tidak didukung oleh kelengkapan perizinan.
Kelima, pembayaran utang kepada konsumen, supplier, kontraktor dan bank. Pembayaran utang harus dilakukan tepat waktu dan dalam hal adanya penundaan harus dimohonkan dengan permohonan penundaan (reschedulling) dengan adanya bukti persetujuan dari pihak lainnya.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Sumber: https://www.rei.or.id/newrei/berita-waspadai-risiko-hukum-dalam-bisnis-properti.html