
Perkembangan hukum bisnis saat ini berkembang sangat pesat. Selain itu perkembangan teknologi juga semakin maju dan hukum harus mengikuti perkembangan jaman. Di Indonesia, mulai berkembang istilah suatu perbuatan yang disebut dengan transaksi jual beli secara online (e-commerce) yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan permasalahan hukum.
Pengertian e-commerce sendiri adalah segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik. Dampak dari kemajuan perkembangan teknologi informasi bagi konsumen di satu sisi telah mengubah perilaku konsumen menjadi semakin kritis dan selektif dalam menentukan produk yang akan dipilihnya. Begitu pula bagi produsen, kemajuan ini memberi dampak positif dalam memudahkan pemasaran produk sehingga dapat menghemat biaya dan waktu. Sebaliknya, karena kedua belah pihak secara fisik tidak bertemu maka kemungkinan lahirnya bentuk-bentuk kecurangan atau kekeliruan menjadi perhatian utama yang perlu penanganan lebih besar.
Transaksi jual beli, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan, selain juga hak-hak Konsumen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut: data identitas para pihak, objek dan spesifikasi, persyaratan Transaksi Elektronik, harga dan biaya, prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak, ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi, dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik. Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang terjadi pada beberapa kasus dapat menggunakan instrumen UU ITE, PP PSTE dan juga UUPK sebagai dasar hukum dalam penyelesaian permasalahan.
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. Lalu muncul pertanyaan bahwa bagaimana jika barang bagi pihak konsumen tidak sesuai dengan yang diperjanjikan? Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
Selain itu, Hak Konsumen juga secara khusus diatur dalam Pasal 4 UUPK. Disebutkan di sana bahwa bahwa hak konsumen diantaranya: hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha sesuai Pasal 7 UUPK diantaranya: memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, dll.
Lebih tegas lagi, Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang konsumen terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang. Maka konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UUPK berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh Konsumen jika mendapati kekeliruan maupun kecurangan, yaitu adalah sebagai berikut :
- Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dilaporkan kepada Polisi berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi: “ Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 UUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).” Jika dalam proses pengiriman barang terjadi kerusakan barang, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan ekspedisi seperti yang tercantum di dalam Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan sebagai berikut : “Para pengangkut dan juragan kapal harus bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi pada barang-barang dagangan atau barang-barang yang telah diterima untuk diangkut, kecuali hal itu disebabkan oleh cacat barang itu sendiri, atau oleh keadaan di luar kekuasaan mereka atau oleh kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur sendiri.”
- Apabila ternyata barang yang diterima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), kita juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli;
Namun begitu, dalam praktiknya, kasus-kasus yang sudah dijelaskan di atas relatif banyak yang belum diselesaikan. Beberapa penyebab umumnya dikarenakan rendahnya penyelesaian kasus perlindungan konsumen meliputi lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran konsumen akan hak-hak mereka.
Penulis : M. Raihan Nurfikri
Write a comment: