Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
Pada dasarnya, penyelenggaraan haji dan umrah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (“UU 8/2019”).

Biro perjalanan yang Anda maksud, menurut hemat kami, dikenal sebagai penyelenggara ibadah haji khusus, yakni badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Agama untuk melaksanakan ibadah haji khusus.[1] Sementara itu, ibadah haji reguler diselenggarakan oleh Menteri Agama sendiri.[2]

Penyelenggara ibadah haji khusus berkewajiban untuk:[3]

  • memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan ibadah haji khusus;
  • memberikan bimbingan dan pembinaan ibadah haji khusus;
  • memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan;
  • memberangkatkan, melayani, dan memulangkan jemaah haji khusus sesuai dengan perjanjian;
  • memberangkatkan penanggung jawab penyelenggara ibadah haji khusus, petugas kesehatan, dan pembimbing ibadah haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;
  • memfasilitasi pemindahan calon jemaah haji khusus kepada penyelenggara ibadah haji khusus lain atas permohonan jemaah; dan
    melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada Menteri Agama.

Penyelenggara ibadah haji khusus yang tidak melaksanakannya dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.[4]

Selain itu, Pasal 118 UU 8/2019 juga menegaskan bahwa:

PIHK dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus.

Penyelenggara ibadah haji khusus yang melanggar larangan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.[5]

Penyelenggaraan Ibadah Umrah
Di sisi lain, biro perjalanan yang menyelenggarakan umrah dapat dikategorikan sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah, yaitu biro perjalanan wisata yang memiliki izin dari Menteri Agama untuk menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah.[6]

Kewajiban penyelenggara perjalanan ibadah umrah, yaitu:[7]

  • menyediakan paling sedikit satu orang pembimbing ibadah setiap 45 orang jemaah umrah;
  • memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan jemaah umrah;
  • memiliki perjanjian kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;
  • memberangkatkan dan memulangkan jemaah umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;
  • menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri Agama secara tertulis sebelum keberangkatan;
  • melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;
  • membuat laporan kepada Menteri Agama paling lambat 10 hari kerja setelah tiba kembali di tanah air;
  • memberangkatkan jemaah umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;
  • mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi; dan
    prinsip syariah.

Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.[8]

Selain itu, Pasal 119 UU 8/2019 juga menegaskan bahwa:

PPIU dilarang melakukan perbuatan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah.

Penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan jemaah umrah dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.[9]

Maka, apabila penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah tersebut tidak memberikan pelayanan kepada jemaah haji/umrah untuk keberangkatan, padahal telah terdapat perjanjian tertulis yang disepakati, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh calon jemaah haji/umrah yang dirugikan adalah dengan melaporkannya kepada pihak berwenang.

Pasal 111 UU 8/2019 menjelaskan pula bahwa:

  1. Masyarakat dapat melaporkan dan mengadukan pelanggaran pelaksanaan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
  2. Tata cara pelaporan, pengaduan, dan penindaklanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika mengandung unsur tindak pidana, maka kepolisian maupun pejabat penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Agama dapat melakukan penyidikan. Hal ini diterangkan dalam Pasal 112 ayat (1) UU 8/2019, yang berbunyi:

Selain Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana.

Tindak Pidana Penipuan
Lebih lanjut, untuk mengetahui apakah biro perjalanan yang Anda maksud melakukan penipuan atau tidak, maka patut diketahui unsur-unsur suatu tindak pidana penipuan.

Untuk itu, kita merujuk pada Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan ini dinamakan “penipuan”. Penipu itu pekerjaannya (hal. 261):

  • membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang;
  • maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
  • membujuknya itu dengan memakai:
  • nama palsu atau keadaan palsu;akal cerdik (tipu muslihat); atau
  • karangan perkataan bohong.

Merujuk pada Pasal 378 KUHP, apabila pihak yang menyelenggarakan perjalanan ibadah haji/umrah tersebut secara melawan hukum dengan tipu muslihat dan/atau rangkaian kebohongan menggerakkan calon jemaah haji/umrah untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, seperti sejumlah uang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, maka langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan adalah menuntut secara pidana penyelenggara perjalanan ibadah haji/umrah atas dasar tindak pidana penipuan.

Selain penegakan hukum administrasi dan pidana, Anda juga dapat melakukan gugatan perdata perwakilan kelompok (class action) jika calon jemaah yang dirugikan berjumlah masif. Hal ini diterangkan dalam artikel Langkah Melawan Investasi Bodong.

semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 91/Pid.B/2019/PN Bon.

Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.

[1] Pasal 1 angka 11 UU 8/2019
[2] Pasal 1 angka 8 UU 8/2019
[3] Pasal 63 ayat (1) UU 8/2019
[4] Pasal 63 ayat (2) UU 8/2019
[5] Pasal 125 UU 8/2019
[6] Pasal 1 angka 19 UU 8/2019
[7] Pasal 94 UU 8/2019
[8] Pasal 95 ayat (1) UU 8/2019
[9] Pasal 126 UU 8/2019

Sumber: Hukum Online (https://www.hukumonline.com/klinik/a/langkah-hukum-jika-ditipu-biro-perjalanan-haji-umrah-lt5325fcaf8293e)

logo-footer